BUALNEWS.COM — Banyak tradisi terwariskan menjadi sesuatu yang baik, bernilai dan terpatri menjadi kebiasaan-kebiasaan membudaya dengan terbuhul kuat dalam religius beragama.
Apakah itu sesuatu yang sememang sudah baik sehingga semakin baik dan menambah kaya khazanah yang ada. Apalagi kebenaran pada prinsipnya juga adalah bagaimana melihatnya secara benar dan tepat.
Jawaban pasti adalah kebenaran itu bukan untuk dihakimi. Pasalnya, setiap kita bukanlah pemilik atau ‘toke’ dari suatu kebenaran itu. Benar menurut kita maka dimata orang lain belumlah tentu benar. Salah menurut dari kaca mata persepsi kita maka bisa jadi benar pula dalam persepsi orang lain.
Apalagi kebiasaan budaya yang sudah terartikulasi dengan baik dalam setiap sendi kehidupan dan berurat nadi sehingga makin memperkaya, memperindah dan memperkokoh tatanan nilai hidup dalam bermasyarakat, beragama dan bermanusia secara Indonesia.
Dari mulai bulan Rajab, Ramadhan hingga bulan Syawal adalah menjadi cerminan dari keindahan beragama keindonesiaan di tanah Kepulauan Nusantara ini. Bulan Syawal umpamanya, selain menjadi bulan yang fitrah dengan kesucian diri dan hati. Dengan kata lain, kembali ketitik nol dari klimaks ubudiah kepada sang kholik dengan sebulan penuh ditempa dan dibakar diri melalui kekuatan nawaitu puasa Ramadhan.
Hasilnya, kesucian diri dari keikhlasan beramal ibadah selama Ramadhan melahirkan tatanan nilai tradisi silaturahmi yang ùnik. Dan ini adalah bagian dari satu bukti bahwa silaturahmi memiliki daya magnet luar biasa. Semua orang tergerak hatinya untuk bersilaturahmi. Mengapa setiap tahun selalu dilakukan? Penyebabnya terkait dengan nilai silaturahmi dalam kerangka membangun kebersamaan antar keluarga, masyarakat dan umat manusia.
Silaturahni itu sendiri adalah mengikat persahabatan atau persaudaraan demikian
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Substansi pengertian ini memberikan pembelajaran kepada kita bahwa setiap manusia pada prinsipnya bersahabat, bersaudara, berinteraksi, berkomunikasi dan memerlukan orang lain. Puncak dari makna ini membentuk persaudaraan yang bersebati, solid dalam bingkai bernama komunikasi ilahiah ukhuwah. Bukan hanya saat hidup di dunia tetapi hingga di akhirat nanti dengan lantunan doa.
Di antara motivasi silaturahim itu karena didasari dengan niat ikhlas. Seperti diungkapkan Syaikh Ibnu Athaillah (2010: 25) ikhlas itu ibarat signal. Tandanya bisa dilihat tetapi wujudnya tidak bisa diraba, apalagi dipegang. Amal kita bisa tetap hidup karena adanya baterai (niat), tetapi tidak menjamin terhubungnya kita dengan tujuan (Allah). Ikhlas lah yang menghadirkan kejernihan, keleluasaan, dan kebebasan diri kita dari rasa sempit dan tertekan. Dengan ikhlas, semua peserta silaturahmi rela mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, tenaga, pikiran bahkan rela berkorban jiwa raga demi bertemunya dengan sanak keluarga dengan selalu silaturahmi.
Hal lain yang memperkuat silaturahmi adalah naluri manusia selalu ingin bersama. Tidak ada manusia yang mampu hidup sendiri. Pasti membutuhkan orang lain. Untuk mencapai kebersamaan ini harus selalu dihubungkan tali silaturahmi agar tidak terputus. Quraish Shihab (2008 : 239) mengungkapkan bahwa tidak jarang hubungan antara mereka yang berada di kota dan di kampung sedemikian renggang-bahkan terputus-akibat berbagai faktor. Dengan mudik, baraan (berkunjung dari rumah ke rumah ‘ Red) yang bermotifkan silaturahmi akan terjalin hubungan dan tersambung kembali. Hal ini sesuai dengan Hadits Radulullah SAW : “Tidak bersilaturahmi (namanya) orang yang membalas kunjungan atau pemberian, tetapi (yang dinamakan bersilaturahim adalah) yang menyambung apa yang putus”. (HR. Bukhari).
Orang yang berbahagia itu yang baik di rumah, di masyarakat dan dalam kehidupan bernegara. Bahkan dikatakan pula orang yang benar itu selalu berkata benar, berbuat benar, dan selalu bersama orang-orang yang benar maka akan termasuk husnul khotimah dan akan dimasukkan ke SurgaNya. Itulah makna silaturahmi memperkuat kehidupan dengan kebenaran, sehingga daya magnet silaturahmi selalu merekat pada kehidupan, bukan hanya saat menapaki bulan Ramadan dan Idul Fitri akan tetapi menebarkan silaturahmi hingga akhir hayat. ***
Penulis: Dosen IAITF Dumai, Jurnalis Senior Wartawan Utama, Konsultan Komunikasi Politik & Pemerintahan, Pegiat Lingkar Pojok Literasi.