Jakarta, BUALNEWS.COM — Gerhana Matahari Total (GMT) yang akan berlangsung Senin (8/10) akan terjadi mendekati titik maksimum Siklus Matahari 25 (Solar Cycle 25) pada 2024. Lantas, apakah ada dampak dari fenomena yang berdekatan ini?
Pusat Prediksi Cuaca Luar Angkasa (SPC) di lembaga kemaritiman dan atmosfer AS (NOAA) mengatakan prediksi puncak aktivitas Solar Cycle 25, yang dikenal sebagai ‘solar maksimum’, itu direvisi dan diprakirakan terjadi antara Januari dan Oktober 2024.
“Prediksi Siklus Matahari Eksperimental baru yang dikeluarkan pada 25 Oktober [2023] menyimpulkan aktivitas Matahari akan meningkat lebih cepat dan mencapai puncaknya pada tingkat yang lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya,” menurut keterangan lembaga.
“Prediksi terbaru ini memperkirakan Siklus Matahari 25 akan mencapai puncaknya antara bulan Januari dan Oktober 2024, dengan jumlah binting matahari maksimum antara 137 dan 173.”
Panel yang terdiri dari NOAA, lembaga antariksa AS (NASA), dan International Space Environment Services (ISES) sebelumnya memprediksi Siklus Matahari 25 mencapai puncaknya pada Juli 2025.
Jumlah bintik Matahari, yang biasa diasosiasikan dengan Badai Matahari maksimum diprediksi mencapai 115 jauh di bawah rata-rata, yaitu 179.
Panel juga sempat memprediksi Siklus Matahari 25 sama lemahnya dengan Siklus Matahari 24, yang merupakan siklus terlemah dalam 100 tahun terakhir dengan jumlah bintik Matahari pada puncaknya mencapai 116.
Kendati demikian, prediksi baru NOAA ini masih di bawah rata-rata walau lebih besar dari prediksi Panel 2019 dan lebih besar dari Sikllus Matahari 24.
Siklus Matahari menggambarkan periode aktivitas Matahari selama kurang lebih 11 tahun yang didorong oleh medan magnet Matahari. Ini ditunjukkan oleh frekuensi dan intensitas bintik Matahari yang terlihat di permukaan.
Untuk memprediksi kapan maksimum Matahari akan terjadi berdasarkan pada catatan sejarah jangka panjang mengenai jumlah binting Matahari, statistik canggih, dan model dinamo Matahari (aliran gas panas terionisasi di dalam bintang yang menghasilkan medan magnet yang menggerakkan Siklus Matahari).
“Kami berharap perkiraan eksperimental baru kami akan jauh lebih akurat dibandingkan prediksi panel tahun 2019, dan tidak setiap prediksi siklus Matahari sebelumnya, prakiraan ini akan terus diperbarui setiap bulan seiring tersedianya pengamatan bintik Matahari baru,” kata ilmuwan surya Mark Miesch.
“Ini adalah perubahan yang cukup signifikan.”
Dampak berdekatan gerhana
Lalu, apakah fenomena ini bakal memberikan dampak signifikan terhadap Gerhana Matahari Total?
Revisi prediksi tersebut menjadi kabar baik bagi penikmat fenomena langit karena Gerhana Matahari Total pada 8 April akan terjadi mendekati titik maksimum Siklus Matahari.
Selama aktivitas matahari meningkat, korona menjadi sangat aktif dan pengamat berpotensi dapat melihat tonjolan Matahari berupa lingkaran plasma raksasa yang memanjang keluar dari Matahari. Bentuknya bakal seperti bintik merah mudah terang di tepi bintang.
Kendati begitu, ada juga dampak bahaya dari fenomena yang saling terjadi berdekatan itu.
Prediksi aktivitas Matahari yang akurat sangat penting karena badai geomagnetik yang dipicu oleh ledakan plasma atau lontaran massa koronal (coronal mass aejection (CME) dapat memengaruhi jaringan listrik, sinyal GPS, menyeret satelit keluar dari orbit.
Selain itu, ada risiko radiasi bagi pekerja penerbangan dan astronaut di antariksa.
Peringatan dini mengenai peristiwa cuaca luar angkasa dapat membantu industri menerapkan prosedur pengamanan untuk mengurangi risiko terhadap peralatan dan pekerja mereka.
“Kita tidak bisa mengabaikan cuaca luar angkasa, tapi kita bisa mengambil tindakan yang tepat untuk melindungi diri kita sendiri,” kata NASA.
Bumi memang memiliki perlindungan alami, yakni medan magnet. Ketika partikel energik dan medan magnet dilepaskan dari Matahari selama peristiwa seperti jilatan api Matahari dan CME, Bumi terkadang berada dalam ‘garis api’.
Saat hal ini terjadi, ‘gelembung’ magnet pelindung Bumi, yang dikenal sebagai magnetosfer, akan mengusir energi berbahaya dari Bumi dan menjebaknya di zona yang disebut sabuk radiasi Van Allen.
‘Komet Setan’ Bisa Terlihat Jelas saat Gerhana Matahari Total
Sabuk radiasi berbentuk donat ini bisa membengkak saat aktivitas Matahari meningkat. Namun, masalahnya perisai pelindung Bumi tidak berarti tak bisa terkalahkan.
Selama peristiwa cuaca antariksa yang sangat kuat, yang lebih sering terjadi pada saat Siklus Matahari maksimum, medan magnet Bumi terganggu dan Badai geomagnetik dapat menembus magnetosfer.
Hal ini menyebabkan pemadaman radio dan listrik secara luas serta membahayakan astronaut dan satelit yang mengorbit bumi.
NASA mencontohkan kasus tahun 1989 ketika CME disertai jilatan api Matahari dan menyebabkan seluruh Quebec, Kanada, mengalami mati total listrik selama 12 jam.
Namun, tidak semua gangguan magnetosfer bersifat merusak. Gangguan ini juga menimbulkan pertunjukan langit yang luar biasa berupa aurora.
Fenomena tersebut dikenal sebagai cahaya utara (aurora borealis) di belahan Bumi utara dan cahaya selatan (aurora australis) di belahan Bumi selatan. Ini dipicu oleh partikel energik yang diarahkan ke kutub Bumi dan bertabrakan dengan atom oksigen dan nitrogen di atmosfer bumi.
Di sisi lain, gerhana tidak hanya akan menyebabkan lingkungan tampak berbeda, tetapi juga akan terasa berbeda.
“Ketika cahaya matahari memudar pada senja hari, kita selalu memperhatikan bagaimana segala sesuatunya mulai mendingin. Hal yang sama berlaku untuk peredupan sementara selama gerhana matahari total,” jelas NASA.
Hal ini bergantung pada sejumlah faktor, seperti waktu dalam setahun, tutupan awan dan lamanya totalitas, suhu udara dapat turun lebih dari 20 derajat F. Selama gerhana matahari pada tahun 1834, suhu udara di Gettysburg, Pennsylvania dilaporkan turun 28 derajat Fahrenheit.
Para astronom tidak memperkirakan suhu di bulan April akan turun sebanyak pada gerhana tahun 2017, namun orang-orang masih bisa merasakan penurunan suhu selama dan segera setelah penyelarasan langit. ***
Editor: Wadami