BUALNEWS.COM — Zaman dahulu, Negeri Temasek (Kota Laut) itu telah menjadi pusat semokel karena menjadi pelabuhan bebas. Akibatnya, barang yang masuk maupun keluar dari Negeri Singa itu tidak dikenai pajak. Kata semokel sendiri diadopsi dari bahasa Inggeris yakni smuggle(semagel) yang juga berarti menyeludupkan.
Itulah yang kemudian menjadikan semokel sebagai salah satu lapangan kerja yang paling menjanjikan. Agar barang bisa keluar masuk, cukup beri upeti kepada Bea Cukai (yang dulu juga terkenal dengan sebutan Duane). Sebab itu, di Riau para pedagang semokel bisa dikatakan paling enak hidupnya. Sedangkan pejabat yang ‘gendut’ rekeningnya, ya tentu Duane. Itulah yang membuat Riau berkibar jadi daerah kaya selain hasil alamnya seperti minyak dan hutan.
Di masa itu, sepanjang pesisir pulau dan pantai timur Sumatera, penuhlah oleh pusat-pusat kegiatan semokel. Mereka hilir mudik melalui jalur sungai dan singgah di pelabuhan-pelabuhan rakyat. Tapi kalau dibandingkan, lebih banyak barang dari Singapura yang dibawa ke Riau daripada sebaliknya. Barang yang masuk dari Riau ke Singapura biasanya adalah bahan mentah. Sedangkan barang yang masuk dari Singapura ke Riau biasanya barang jadi. Ketika itu, masih berlaku sistem barter. Misalnya membawa arang beberapa tongkang ke Singapura, lalu ditukar dengan barang yang telah disetujui.
Ini kemudian meningkat terus hingga menjadi perdagangan manusia (trafficking). Bedanya hanya dari yang memainkan peranan, dari tauke semokel pindah ke tekong (pengantar/penyeludup tenaga kerja). Itu dibuktikan dengan hasil penelitian yang dikeluarkan International Organization for Migration (IOM). Di mana Indonesia menempati posisi teratas sebagai negara asal korban perdagangan manusia (trafficking). Hingga Juni 2011, tercatat sudah ada 3.909 korban perdagangan manusia, sebagian besar perempuan. ***
Penulis: Sri Helmina, Mahasiswa Prodi Akuntasi Syariah, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Bengkalis