Seni Politik, Kekuasaan dan Pengkhianatan

Advertisements

BUALNEWS.COM — Politik memang soal seni dari sebuah permainan. Kalau pun ada adigium politik dari seni permainan itu mengatakan tak ada kawan dan lawan, yang ada adalah kepentingan kata Niccolò Machiavelli 3 Mei 1469 – 21 Juni 1527.

Ungkapan itu pula yang berlaku dalam politik: tidak ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik, yang ada (abadi) adalah kepentingan. Dan adalah Publillius Syrus (yang diperkirakan hidup antara 85–43), seorang budak dibawa ke Roma pada zaman dahulu, menasihatkan, “Cave amicum credas, nisi quem probaveris”—hati-hatilah, jangan mempercayai seseorang teman, kecuali engkau telah mengujinya.

Sesungguhnya kisah pengkhianatan itu yang membenarkan apa yang pernah dikatakan oleh Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) seorang negarawan, orator, ahli hukum, dan filsof Romawi. “Hostis aut amicus non est in aeternum; commoda sua sunt in aternum”—lawan atau kawan itu tidak ada yang abadi; yang abadi hanyalah kepentingan,” begitu nasihat Cicero.

Dan dari keperntingan itulah politik melahirkan sebuah seni. Bagi politisi senior Ir Akbar Tanjung mengatakan bukan soal bagaimana awalnya, tapi bagaimana akhir dari permainan itu bisa dimenangkan. Tentulah dengan seni, baik kelas tinggi maupun kelas rendah. Baik cukup dengan hanya memotong ekornya hingga harus memotong kepala naganya kata Sun Tzu.

Sun Tzu merupakan seorang Jenderal dari Tiongkok, ahli strategi militer, dan filsuf yang hidup pada Zaman Musim Semi dan Gugur pada masa Tiongkok Kuno. Sun Tzu diketahui sebagai penulis The Art of War, sebuah strategi militer yang secara luas berpengaruh terhadap filosofi Barat dan Timur.

Baca Juga :  PWI Dumai ‎Gelar Donor Darah Meriahkan HPN, Targetkan 77 Kantong

Kalau tak dibunuh maka dalan prosea siap-siap peliharaan akan memangsa tuannya. Kalau tak dipotong ekornya maka siap-siap ekor akan menghempas ke kepala atau kalau tak dipotong kepala naganya, bagaimana bisa menguasainya.

Tersebab itulah, ada kata menguasai atau dikuasai. Mengikut atau diikuti sehingga semua kata adalah menjadi indah ketika kita mengatakan kalau politik adalah sebuah seni. Lalu, bagaimana indahnya seni maestro dimainkan tergantung kepada sang manstronya. Moga politik tetap menjadi seni yang mengindahkan sebuah pemainan. Dan bukan sebuah permainan dari kekuasaan. Machiavelli mengatakan, “Kekuasaan harus digapai dan dipertahankan, meski harus membuang bab etika ke tong sampah.”

Atau lkekuasaan kata Max Weber dimaknai sebagai sarana bagi seseorang untuk mencapai keinginannya. Pemikiran serupa juga dikatakan Friedrich Nietzsche bahwa pada dasarnya manusia memiliki hasrat untuk berkuasa, umumnya diperoleh dengan jalan menguasai atau mempengaruhi orang lain.

Belajar sejarah masa lalu adalah Roma, selalu mengingatkan kisah pengkhianatan. Sebuah pengkhianatan yang masih dikenang hingga kini. Sebuah pengkhiatan yang kerap dijadikan contoh bagaimana ambisi kekuasaan itu bisa menerjang segala macam tata-susila, etika, tatanan moral, dan bahkan tembok ajaran agama.

Andaikan, nasihat istrinya, Calpurnia, didengarkan tentu konspirasi pengkhianatan itu tidak terjadi. Tetapi, Caesar lebih mendengarkan rayuan Brutus, yang memberikan mimpi-mimpi akan kemegahan, kesohoran, kehormatan padanya. Caesar, memang, mencari semua itu. Sehingga, tidak mendengarkan nasihan istrinya yang telah menerima penglihatan lewat mempinya akan bencana yang akan menimpa suaminya. ***

pantaikonengdm15.00wib/14/11 2021

Penulis: Dawami S.Sos M.I.Kom, Dosen IAITF Dumai, Jurnalis Senior Wartawan Utama, Pegiat Lingkar Literasi

You May Also Like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *