BUALNEWS COM — Dua puluh tujuh likur adalah bagian dari prosesi mengungkap kegenbiraan dipenghujung Ramadhan. Rasa gembira ini diikuti dengan kegiatan membuat lampu pelita atau lebih dikenal dengan lampu colok.
Sepanjang jalan dimulai dari depan rumah dengan pusat utamanya adalah masjid. Kenapa masjid, disebabkan disinilah akhir dari alur antologi berprosesnya komunikasi ilahiah antara mahluk dan.sang pecipta. Dengan simbolisasi dari sebuah kemenangan dimana setelah satu bulan berpuasa selalu mendapat penerangan cahaya keimanan hingga malam takbiran atau subuhnya.
Ungkapan kemenangan dari jalan lurus penerangan keimanan inilah menjadikan simbolisasi beragama semakin memperkaya khaxanah beragama di tanah Nusantara bernama Indonesia.
Tujuh likur atau 27 likur atau likuran atau dengan nama lainnya lampu colok maka itulah suatu tradisi memeriahkan akhir dari Ramadhan atau lebih tepatnya 27 Ramadhan. Sebagaimana diawal memasuki Ramadhan ada tradisi kenduri selanatan memasuki Ramadhan atau arwah, ziarah ke rumah orang tetua dan ziarah kuburan hingga mandi berlimau di sore hari awal memasuki Ramadhan.
Apakah cukup sampai situ, ternyata tidak. Memasuki bulan suci Ramadhan, mulai dari hari pertama hingga seminggu akan berakhir Ramadhan dimana setiap sorenya selalu diramaikan dengan keberkahan tradisi berburu juadah berbuka. Tidak hanya bagi orang muslim yang lagi berpuasa, tapi juga diramaikan dengan seluruh umat beragama lainnya. Disamping itu, diminggu terakhir Ramadhaan selain sebagian umat disibukkan dengan beriqtikaf di masjid dan sebagian lagi disibukkan dengan berburu baju lebaran.
Tradisi likuran atau 27 likur atau lampu colok menjadi bagian dari tak terpisahkan dengan kemeriahan saat akhir Ramadhan. Malah sekarang, tradisi lampu colok masuk dalam agenda wisata tahunan. Soal bentuk dan ornmen juga sudah sangat arsitek syarat nilai keagamaan dan kemelayuan. Bernafaskan agama dengan nilai-nilai kaligrafi tingkat tinggi yang dibentuk melalui kawat, besi dan paku dari susunan dasar kayu sebagai pola dasarnya.
Tentulah dari pola ini memudahkan untuk menempatkan lampu dalam gambar dan pesan yang sudah dirancang sedari awal. Hasilnya pada malam harinya sangat mendecah kagum. Padahal gambar tersebut tersusun dari lampu-lampu, terbuat dari kaleng bermacam jenis yang dari jauh hari sudah dikumpulkan. Kemudian diberikan sumbunya yang terbuat dari bahan mudah terbakar dan teralirkan minyak pasang atau minyak tanah.
Simbolisasi lampu colok ini juga menjadi artikulasi dari sebuah keberagaman dalam bermasyarakat dan berbudaya. Bahwa keindoneaian adalah lebih kaya dari khazanah berbudaya dan beragama sehingga melahirkan sebuah kekayaan dari keragaman artikulasi beragama dan keindonesiaan. ***
Penulis: Dawami S.Sos M.i.Kom, Dosen IAITF Dumai, Jurnalis Senior Wartawan Utama, Pegiat Lingkar Pojok Literasi