
Adapun nama tambahan Dwidjobrotodiputro dapat diuraikan dari unsur kata yang membentuknya. Dwidjo bermakna benih atau bibit, suatu lambang harapan bagi generasi penerus. Broto atau Brata berarti laku atau jalan hidup yang disiplin, penuh kebajikan, dan pengendalian diri. Sedangkan Diputro berasal dari kata putra, menandakan identitas sebagai anak atau keturunan. Dengan demikian, nama ini memuat makna simbolik: seorang putra atau pribadi yang diharapkan tumbuh sebagai teladan, berdisiplin moral, dan menjaga nilai luhur dalam kehidupan.

Menariknya, gelar ini dalam perkembangannya tidak hanya diberikan kepada keturunan keraton atau mereka yang berdarah bangsawan Jawa. Ada kalanya seorang tokoh dari luar lingkungan keraton, bahkan dari luar etnis Jawa, memperoleh anugerah gelar ini. Pemberian tersebut biasanya didasarkan pada jasa, pengabdian, atau hubungan kekerabatan sosial-budaya yang erat dengan pihak keraton. Dengan kata lain, gelar kebangsawanan bukan hanya penanda garis keturunan, tetapi juga pengakuan atas kontribusi seseorang bagi masyarakat atau institusi yang memberikan penghormatan tersebut.
Dalam konteks inilah, ketika gelar Kanjeng Raden Aryo Dwidjobrotodiputro dianugerahkan kepada seseorang yang bukan dari keluarga keraton dan bukan pula orang Jawa, maknanya menjadi semakin simbolis. Ia tidak sekadar menandakan garis darah bangsawan, melainkan pengakuan kehormatan lintas etnis dan budaya. Gelar itu menjadi representasi bahwa nilai luhur seperti kebajikan, keteladanan, dan pengabdian dapat dihidupi oleh siapa saja, terlepas dari asal-usul suku maupun tempat kelahirannya.
Dengan demikian, pemberian gelar semacam ini memperlihatkan bahwa kebangsawanan dalam tradisi Jawa bukan hanya soal keturunan, tetapi juga soal kepribadian, pengabdian, dan jasa yang melampaui batas etnis. Ia menjadi bentuk penghormatan sosial sekaligus jembatan budaya, yang mengikat antara keraton Jawa dan masyarakat luas di luar lingkup geografis maupun genealogi keraton itu sendiri.
Adat Jawa dikenal memiliki filosofi adiluhung, yakni nilai-nilai luhur yang diwariskan turun-temurun sebagai panduan hidup masyarakat. Prinsip adiluhung ini tidak hanya tercermin dalam tata krama dan kesenian, tetapi juga dalam cara keraton Jawa memaknai kehormatan dan penghargaan. Gelar kebangsawanan seperti Kanjeng Raden Aryo tidak hanya menandakan kedudukan sosial, tetapi juga memuat pesan moral agar pemiliknya mampu menjaga harmoni, mengayomi, serta menjadi teladan di tengah masyarakat. Dengan demikian, pemberian gelar tersebut tidak semata-mata bersifat simbolik, melainkan sarat dengan tanggung jawab etis.
Dalam kerangka Nusantara yang plural, prinsip adiluhung ini berperan penting dalam merawat keragaman. Tradisi Jawa, yang lahir dari perpaduan budaya lokal dengan pengaruh Hindu, Buddha, dan Islam, telah terbiasa hidup dalam suasana sinkretis. Dari sanalah muncul falsafah hamemayu hayuning bawana—mengusahakan keindahan dan keselamatan dunia. Falsafah ini mengajarkan bahwa kehormatan sejati tidak diukur dari garis keturunan semata, melainkan dari sejauh mana seseorang mampu menjaga keseimbangan, keberagaman, dan kerukunan hidup.
Ketika sebuah gelar kebangsawanan Jawa diberikan kepada seseorang yang bukan dari keluarga keraton maupun etnis Jawa, hal itu sejatinya mencerminkan keluhuran nilai adiluhung tersebut. Keraton mengakui bahwa kebajikan dan pengabdian adalah universal, tidak terikat pada darah atau suku. Justru dengan mengulurkan penghormatan kepada sosok di luar lingkup keraton, adat Jawa memperlihatkan keterbukaan dan kelenturannya dalam menyambut perbedaan, sekaligus mempererat tali persaudaraan Nusantara.
Secara simbolis, pemberian gelar ini dapat dipandang sebagai representasi dari semangat Bhinneka Tunggal Ika. Keraton Jawa, dengan kewibawaan budayanya, tidak menutup diri dari kontribusi pihak lain. Sebaliknya, ia mengangkat sosok di luar Jawa sebagai bagian dari keluarga besar kebangsawanan, seakan menegaskan bahwa nilai luhur—seperti keteladanan, keberanian moral, dan keikhlasan dalam pengabdian—adalah milik bersama bangsa Indonesia.
Dengan demikian, gelar Kanjeng Raden Aryo Dwidjobrotodiputro yang diberikan kepada non-Jawa atau non-keraton dapat dipahami sebagai sebuah jembatan budaya. Ia menghubungkan tradisi Jawa dengan khazanah Nusantara yang majemuk. Lebih jauh, pemberian gelar ini meneguhkan pesan bahwa kebangsawanan sejati tidak hanya diwariskan, tetapi juga bisa diraih melalui sikap hidup yang mulia. Inilah bentuk nyata dari filosofi adiluhung Jawa: merawat perbedaan, memuliakan keragaman, dan menyatukan bangsa dalam bingkai keindahan budaya.
Selamat buat pak Rektor IAITF Dumai, Assoc Prof Dr HM Rizal Akbar M.Phil ***
Penulis: Dawami, Dosen IAITF Dumai, Jurnalis Senior, Pegiat Lingkar Pojok Literasi