
Jakarta, BUALNEWS.COM — Perang Kota bukan sekadar film perang yang dibumbui jargon nasionalisme klise dan adegan baku tembak penuh asap. Film ini datang dengan pendekatan segar, menelanjangi sisi-sisi kelam dan personal dari perjuangan pasca-kemerdekaan dengan cara yang lebih intim dan manusiawi.
Comeback Mouly Surya kali ini layak disambut dengan istilah: angin segar—dan bukan angin surga. Ia tak lagi bicara soal heroisme ala patung pancoran, tapi menyelami apa yang terjadi setelah bendera merah putih berkibar dan sorak kemenangan perlahan meredup di tengah perut lapar dan harga beras yang melambung.
Diadaptasi secara bebas dari novel klasik Jalan Tak Ada Ujung (1952) karya Mochtar Lubis, Perang Kota memotret perjuangan Indonesia pasca-proklamasi dari sudut Jakarta tahun 1946. Masa ketika merdeka belum tentu berarti bebas dari lapar, trauma, dan konflik rumah tangga.
Film dibuka dengan adegan mencengangkan: Fatimah (Ariel Tatum), istri seorang pejuang, mempertaruhkan nyawa demi sekarung beras. Di sini, Mouly sudah meletakkan tone film — bahwa medan perang tak selalu soal senjata, tapi juga dapur yang tak berasap.
Masuklah Isa (Chicco Jerikho), veteran perang yang kini mengajar dan bermain biola. Di luar tampak gagah, di dalam… remuk redam. Ia harus berhadapan dengan misi negara sekaligus tragedi ranjang bersama sang istri, Fatimah. Dan seolah belum cukup, hadir Hazil (Jerome Kurnia), murid les sekaligus orang ketiga yang membuat konflik pribadi Isa makin beraroma mesiu.
Alih-alih menyuguhkan ledakan-ledakan besar dan keroyokan di medan perang, Perang Kota memilih jalur sunyi—dengan tensi yang ditarik perlahan namun pasti. Durasi 119 menit diisi dengan konflik psikologis dan ketegangan yang direbus dengan api kecil tapi pedas.
Salah satu keputusan artistik Mouly Surya yang patut diacungi dua jempol (plus satu jempol kaki) adalah penggunaan aspek rasio 4:3. Nuansa klasik makin terasa, seolah kita sedang mengintip lembar sejarah dari lubang kunci masa lalu.
Jakarta era 1940-an tampil detail dan memikat, dari jalanan penuh debu sampai selendang yang dikenakan Fatimah. Desain produksi dan kostum bekerja sama seperti duet biola dan cello—penuh harmoni. Roy Lolang sebagai sinematografer juga tak main-main. Setiap shot-nya bagaikan lukisan perang yang tenang, tapi menyimpan ledakan di balik warna-warna kelam.
Dan jangan lupakan musiknya. Scoring garapan Zeke Khaseli dan Yudhi Arfanji adalah jantung emosional film ini. Musik tak hanya hadir sebagai pelengkap, tapi sebagai narator diam yang kadang lebih nyaring dari dialog.
Dari segi akting, trio utama tampil menyala. Chicco Jerikho membawa luka Isa dengan penuh kesenyapan yang menyiksa. Ariel Tatum tak hanya cantik di layar, tapi juga tajam dalam menyampaikan luka batin Fatimah. Sementara Jerome Kurnia sukses jadi Hazil yang membuat penonton ingin memukul sekaligus memeluk.
Namun, bukan berarti film ini tanpa cela. Beberapa bagian terasa lambat, seperti motor butut yang mogok di tanjakan. Ada subplot yang lewat begitu saja, padahal bisa jadi peluru emosional tambahan. Tapi toh, itu bukan hal yang membuat film ini kehilangan nyawa.
Jika Trigger Warning sempat bikin penonton berharap bisa me-rewind waktu dan memilih film lain di Netflix, maka Perang Kota adalah penebusan dosa Mouly Surya. Ia kembali ke akar: cerita yang kuat, visual yang jernih, dan narasi yang membekas.
Perang Kota bukan hanya film perang. Ia adalah drama psikologis, kritik sosial, dan potret getir tentang perjuangan yang tak selesai hanya karena perang usai. Film ini bisa jadi tak sempurna, tapi jelas punya tempat istimewa di peta perfilman Indonesia.
Dan ya, film ini bukan propaganda. Tapi jika ini propaganda, maka inilah propaganda terbaik yang bisa kita tonton hari ini. ***
Editor: Wadami
BUALNEWS.COM — Bual Serius, Tapi Tetap Cerdas.