Tradisi Belimau

Advertisements

BUALNEWS.COM –– Tradisi belimau masih dipertahankan secara turun temurun disejumlah daerah di Provinsi Riau. Walaupun dengan sebutan yang berbeda tapi memiliki makna sama yaitu membersihkan diri dan menjaga komunikasi silatuhami antara sesama.

Sore ini, Sabtu ( 02/03/2022) kami sekeluarga juga bergegas pulang kampung . Satu alasan tak mau ketinggalan mengikuti tradisi belimau. Sebab sesuai pengumuman Kementerian Agama RI menetapkan, Minggu (03/03/2022) adalah menjadi awal jatuhnya bulan suci Ramadhan.

Tradisi belimau ini, hanya ditemui saat sore akan menyambut bulan suci Ramadhan. Satu dari banyak tradisi yang terwariskan dari sempena menyambut bulan suci Ramadhan. Ada kenduri arwah, ziarah kuburan dan puncaknya tradisi berlimau.

Biasanya, kalau kenduri arwah sudah dimulai sejak memasuki bulan Rajab dan satu bulan sebelum masuk Ramadhan. Ziarah kuburan ke makam orang tua, saudara biasanya dilakukan dua minggu atau seminggu menjelang masuk bulan suci Ramadhan. Atau disebagian tempat ada di hari Junat terakhir di bulan Rajab sebelum masuk Ramadhan. Atau, satu hari dipetang menyambut masuknya Ramadhan dan diikuti dengan prosesi belimau.

Proses belimau itu sendiri, hanyalah sebuah model dari berkomunikasi dalam rangka menjaga tali silaturahmi diantara sesama. Sedangkan ziarah kuburan sebagai bentuk untuk terus menjaga komunikasi silatuahmi dan interaksi ilahiah dengan orang-orang tua, saudara yang telah meninggal dunia.

Selain itu, kebahagiaan dari menyanbut bulan suci Ramadhan adalah menjadi kebahagian seluruh mahluk dialam semesta ini. Sebab disini hadir kekuatan dari kehambaan diri seorang mahluk (Muslim ‘Red) dengan mengharapkan pahala dari ibadah-ibadah yang dikerjakan selama bulan yang suci dan diistimewakan oleh Allah SWT.

Baca Juga :  Hukum Alamtologi; Rahasia Harmonisasi Berkomunikasi

Oleh sebab itu, tradisi belimau yang menjadi awal menyambut Ramadhan adalah bagian penting terwariskan sehingga bernilai religius. Makna dari tradisi inilah yang paling bisa ditangkap adalah sebagai media silaturahmi bagi anak kemanakan kepada orang-orang tua dan dituakan dalam keluarga

Kalaupun ada disitu sebagai bentuk dari makna religius dengan menyimbolkan semangkuk air disertai limau (jeruk) pagar. Kemudian, tetua atau orang yang lebih tua akan merenjiskan atau menempelkan air limau tadi ke dahi sambil mengucapkan bismilah, bershalawat dan doa atas kebaikan-kebaikan untuk anak kemanakannya selama Ramadhan adalah bentuk dari tatanan nilai-nilai budaya yang terwariskan.

Koentjoroningrat dalam bukunya kebudayaan, mentaliet dan pembangunan secara tegas mengatakan proses pembudayaan dilakukan dalam tataran nilai yang dianut yakni merumuskan secara bersama nilai-nilai agama yang disepakati dan perlu dikembangkan, membangun komitmen dan menjalankannya secara bersama-sama. Disamping, tataran simbol-simbol budaya yang kurang sejalan dengan ajaran dan nilai-nilai agama dengan simbol budaya yang agamis. Proses pembudayaan nilai-nilai agama inilah melahirkan tradisi secara turun temurun terwariskan ditengah-tengah masyarakat.

Tradisi belimau ini, selain sebagai saran menyimbolkan diri melakukan pembersihan diri juga ada nilai-nilai lain. Yaitu nilai saling berbagi diantara sesama keluarga. Terutama sekali bagi anak kemanakan kepada orang tetua dikeluarga. Dan biasanya, kemanakan akan memberikan gula sekilo atau sirup sebotol. Dan bisanya juga menyesuaikan atas apa yang diberikan kemanakan kepada orang yang dituakan.

Sebaliknya, di rumah tetua di dalam keluarga sudah tersambut bermacam aneka makanan dan minuman. Seperti gondang talam yang tak pernah tinggal dan kue muweh lainnya. Lalu, diikuti dengan prosesi belimau yang dilakukan tidak terlalu formal. Tapi cukup dengan semangkok air putih berisi jeruk pagar. Bagi sebagian daerah cukup dibuat mandiri sendiri, sebagian lain dilakukan beramai-ramai. Dan sebagian lain, air jeruk dimasukan dalam mangkok digunakan sebagai media membersihkan diri dengan merenjis atau menempelkan air ke dahi.

Baca Juga :  Konferwil NU Riau : Banser Riau Siap Kawal Kiyai

Penyimbolan ini menjadi kekuatan dalam menarasikan cara berkomunikasi dan beragama dalam bingkai tradisi beragama bagi masyarakat muslim Indonesia. ***

Penulis: Dawami S.Sos M.I.Kom, Dosen IAITF Dumai, Pegiat Lingkar Pojok Literasi

You May Also Like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *