Cerita Kata ‘Budak’ Dalam Melayu Riau dan Palembang

Advertisements
BUALNEWS.COM–  Perbedaan bahasa memang selalu membuat perbedaan makna, walaupun dengan menggunakan kata yang sama, dalam suku atau etnis yang sama yakni Suku Melayu. Cerita ini terjadi, saat saya dan teman-teman rombongan dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Riau mengikuti Latihan Kader (LK) II HMI di Cabang Palembang di tahun 1996. Saya lahir dari rahim bahasa ibu bernama Melayu Riau dan kawan saya bernama Rony adalah bersuku Melayu juga, tapi lahir dari rahim bahasa ibu suku Melayu Palembang. Tapi kami tetap memiliki perbedaan dalam menafsirkan satu suku kata yakni kata “Budak”. Saat berkenalan, Rony dan teman-teman dari HMI Cabang Palembang sangat ramah. Sebagai panitia mungkin mereka ingin memberi yang terbaik kepada kami dari luar daerah. Dan pesertanya tidak hanya dari Riau, ada dari Aceh, Medan, Jambi, Padang, Bengkulu, Lampung dan HMI Cabang Metro. Setelah 2 hari di Palembang sebagai peserta, dan sudah akrab satu sama lainnnya. Sehingga saya terucaplah sebuah kata yang bagi kami dari Riau kata ini biasa saja yakni ‘’budak inilah!”. Kata ini keluar sebagai respon dari keakraban dari pembicaran, tapi respon baliknya seperti ada sesuatu yang kurang baik dari kata ini. Kami pun dari Riau saling pandangan, sedangkan kawan dari Palembang ini memberikan respon non verbalnya adalah muka memerah dan ada kesan kekakuan untuk komunikasi selanjutnya. Hal ini pun berlalu, tapi tetap memberikan tanda tanya bagi kawan-kawan dari Riau. Yakni, ada apa dengan kata ‘Budak’ ini sehingga membuat kami pada malam menjelang tidur membuka diskusi sederhana. Jawabanya, baru terjawab ketika pagi saat sarapan pagi. Rony secara terus terang menjelaskan kenapa kawan-kawan dari Palembang ketika terdengar bahasa “budak inilah’ memberikan respon dingin. Ternyata, oh ternyata… kata ‘budak’ memiliki konotasi kurang menyenangkan atau sedikit merendahkan harga diri.
Baca Juga :  Kuliah Umum Pascasarjana UIN Suska Riau Dihadiri Direktur Diktis Kemenang RI, "Terus Bergerak Maju Kedepan"
Bagi kami orang Melayu Riau, kata Budak tidaklah mengandung konotasi makna merendahkan atau negatif tapi lebih kepada bahasa gaul yang berkonotasi mengakrabkan dalam bergaul bagi sesama sebaya. Sehingga makna dari konotasi bahasa budak digunakan untuk mengakrabkan lagi pertemanan atau pergaulan dengan umur sebaya. Tapi tidak demikian dengan tanggapan teman-teman kami dari suku Melayu Palembang. Dimana, mereka memiliki konotasi dalam penafsiran berbeda yang sedikit merendahkan harga diri. Apalagi kata Prof Deddy Mulyana, MA, Ph.D. dalam bukunya berjudul Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar menyatakan, kalau komunikasi verbal disepadankan dengan bahasa. Sebab bahasa dapat dianggap juga sebagai suatu sistem kode verbal. Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas. Hanya saja memang, keterbatasan bahasa dalam kerumitan makna kata sebenarnya kita keliru bila kita menganggap bahwa kata-kata itu mempunyai makna. Kitalah yang memberi makna pada kata. Dan makna yang kita berikan kepada kata yang sama bisa berbeda-beda, tergantung pada konteks ruang dan waktu. Makna muncul dari hubungan khusus antara kata dan manusia. Makna tidak melekat pada kata-kata, namun kata-kata membangkitkan makna dalam pikiran orang. Oleh sebab itu, dalam teori ilmu komunikasi maka teori negosiasi muka adalah salah satu dari banyak teori yang bisa ikut memberikan solusi dalam memaknai sebuah perbedaan budaya dalam berkomunikasi. Sebab dalam teori ini dinyataka kalau orang dari budaya yang berbeda memiliki pemikiran mengenai sebuah makna terutama ‘muka’ orang lain. Pemikiran ini menyebabkan mereka menghadapi konflik dengan cara yang berbeda. Solusi menyikapi perbedaan adalah saling memahami dan saling terbuka untuk mencari persamaan makna yang ada.
Baca Juga :  LAM Riau Keluarkan Warkah Petuah Amanah Pilkada 2024, Ada Tujuh Butir Petuah Amanah
Pelajaran yang bisa ditawarkan dari kejadian ini adalah dimana rasa saling terbuka dan menghargai perbedaan termasuk perbedaan dalam penggunaan kata dalam bahasa bisa dikompromikan sehingga menghasilkan proses komunikasi bisa berjalan dengan lancar dan tidak salah pengertian.*** *Dawami, Mahasiswa Pascasarjana Fisip UNRI Ilmu Komunikasi Memenuhi Tugas Komunikasi Lintas Budaya Prof Deddy Mulyana. (Dumai,17 April 2019, BTNfajarindahIItjpalas. #pemilu2019damai)

You May Also Like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *