
BUALNEWS.COM — Pagi itu, langit masih terpejam saat kami memulai perjalanan dari Kedah, Malaysia. Tepat pukul 3.30 pagi waktu Malaysia (atau 2.30 WIB), kendaraan kami bergerak meninggalkan pekatnya malam menuju wilayah Chana, di Thailand Selatan. Tujuan kami bukan sekadar geografis, tapi spiritual—ziarah ke makam seorang ulama besar Nusantara yang warisannya tak hanya hidup dalam kitab-kitab, tapi juga mengalir dalam darah sejarah perlawanan, keilmuan dan tarekat dia adalah Syeikh Abdul Somad Al Palimbani.
Menjelang pukul tujuh pagi waktu Thailand, kami tiba di perbatasan. Pemeriksaan imigrasi cukup ketat—selain prosedur dari pihak Malaysia, pos militer dan imigrasi Thailand menanti sekitar dua ratus meter dari gerbang perbatasan. Setelah lebih dari tiga puluh menit melewati segala keperluan administratif dan keamanan, kami kembali melaju, menyusuri jalan-jalan yang masih lengang, menuju kaki bukit tempat pusara agung itu bersemayam.


Sekitar pukul sembilan pagi waktu Thailand, kami tiba di jalan sempit yang membawa kami masuk ke hutan getah milik warga setempat. Jalanan itu hanya selebar empat meter, sebagian berkerikil, sebagian rusak. Namun suasana sunyi yang menyelimuti, ditambah semangat ziarah, menjadikan setiap langkah kami ringan dan khidmat. Di antara rimbun pohon getah itulah, berdiri sosok tua dengan tongkat di tangan—penjaga makam yang dikenal sebagai Pak Cu . Rambut dan janggutnya memutih, usianya mendekati tujuh puluh, namun suaranya masih kokoh, berlogat Melayu Pattani yang kental. Ia menyambut kami dengan penuh adab, dan mempersilakan kami memasuki kawasan makam.



Kami membaca tahlil, berdoa, dan menyiramkan air di atas pusara beliau. Bangunannya terbuka dengan lantai berkramik, hanya kesederhanaan yang memancarkan keagungan. Pak Cu mulai bercerita tentang Syeikh Abdul Somad, tentang gurunya, tentang murid-murid yang datang menziarahi makam ini dari berbagai negeri. Ia menyebut pula makam Tengku Fatimah, Panglima Terengganu, dan tokoh lainnya yang hanya ditandai batu tanpa nama. Namun ketika ia menyebut nama salah satu Syeikh asal Maroko yang juga dimakamkan di bukit itu, ia tiba-tiba menangis. Air matanya tumpah, dan kisahnya terhenti. Kami semua terdiam dalam haru, sementara angin pagi berhembus lembut membawa pesan-pesan sunyi dari para wali yang bersemayam di bumi ini.
Dalam rombongan kami turut hadir pula sosok-sosok terhormat, Syeikh Gibril Fouad Haddad mursyid-mursyid tarekat, tuan guru, serta Pak Lang Jabal Jerai dari Kedah. Kehadiran mereka mempertebal getaran ruhani ziarah ini. Kami semua sadar bahwa tempat ini bukan sekadar kuburan di kaki bukit, tapi medan ruhani para shalihin, syuhada, dan ulama yang memilih untuk menyatu dengan bumi agar langit tetap bercahaya.

Siapakah sebenarnya Syeikh Abdul Somad al-Palembani, yang kini dikenang dalam diam oleh hutan dan langit Thailand Selatan ini? Beliau lahir di Palembang sekitar tahun 1737 Masehi dan meninggal 1839 Masehi di Kampong Ban Trap, Chenak ( Chana ) Thailand. Beliau lahir dari pasangan bangsawan dan ulama, cucu dari Syeikh Abdul Jalil, adalah seorang Arab keturunan Yaman Al-Mahdali dengan istri berkerabat Palembang bernama Raden Ranti, dengan ayahnya bernama Syech Abdul Rahman Al Palembani, sementara ibunya juga adalah wanita kerabat Palembang bernama Raden Mas Ayu. Melalui keterangan terbaru dikabarkan bapaknya menghabiskan masa di Kedah dan meninggal dalam keadaan syahid melawan Siam di Kedah dan disemadikan ditempat bernama Kampong Koto Mengkuang Jitra, Kedah. Sejak kecil, beliau menempuh pendidikan Islam di lingkungan pesantren di Palembang, sebelum kemudian melanjutkan pengembaraan ilmiahnya ke Patani, Kedah, dan akhirnya ke pusat ilmu dunia Islam kala itu Mekah dan Madinah juga ke kampung keturunannya di Zabid bermarga Al Mahdali.
Di Tanah Suci, beliau bergabung dengan komunitas pelajar asal Nusantara yang dikenal sebagai Kaum Jawi, yang kala itu menjadi kelompok intelektual yang sangat aktif. Di sana, beliau bersahabat erat dengan dua ulama besar lainnya yaitu Syeikh Daud bin Abdullah al-Fatani dari Patani, dan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dari Kalimantan. Ketiganya menjadi murid dari sejumlah guru yang sama, seperti Syeikh Muhammad Samman Al Madani bin Abdul Karim al-Sammani, seorang ulama sufi besar dari Madinah dan pendiri Tarekat Sammaniyah. Di sinilah mereka menyerap ilmu tasawuf, fiqih, tauhid, tafsir, dan hadis, dalam satu jalur sanad yang kuat dan saling bersilangan.
Hubungan ketiga tokoh ini bukan hanya sebagai rekan belajar, tetapi sebagai persaudaraan ruhani dan intelektual. Syeikh Abdul Somad lebih menonjol sebagai sufi dan penulis tasawuf. Karyanya yang monumental, Siyar al-Salikin dan Hidayah al-Salikin, adalah adaptasi dari karya besar Imam al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, namun ditulis dalam bahasa Melayu, menjadikannya jembatan spiritual bagi dunia Islam di Asia Tenggara. Sementara itu, Syeikh Daud al-Fatani dikenal sebagai ahli fiqih dan usul yang produktif—menulis puluhan kitab dalam bahasa Jawi dan Arab Melayu yang hingga kini menjadi bahan ajar utama di pesantren-pesantren. Adapun Syeikh Arsyad al-Banjari, melalui Sabilal Muhtadin, memperkuat struktur hukum Islam dalam kehidupan masyarakat Banjar.
Namun, hubungan mereka tak berhenti pada ilmu. Ada kisah yang menggetarkan hati dalam sejarah perjuangan mereka. Saat kekuasaan Siam mulai mengancam Pattani dan wilayah sekitarnya, Syeikh Abdul Somad memutuskan untuk kembali ke tanah air dan mengangkat senjata demi membela umat. Dalam perjuangan membela negeri beliau didapati berbicara pada sahabatnya, Syeikh Daud al-Fatani, dengan nada penuh haru namun mantap: “Pergilah ke Makkah. Tinggalkan medan ini padaku. Engkau yang akan mengajarkan anak cucu kita kelak.” Kalimat ini menggambarkan kesadaran akan pentingnya dua jalur jihad yaitu jihad dengan pedang dan jihad dengan pena. Syeikh Abdul Somad memilih medan pertempuran, dan akhirnya wafat sebagai syahid di tangan pasukan Siam, sementara Syeikh Daud melanjutkan perjalanan ilmu ke Makkah, menulis dan membina generasi ulama yang kelak menyebar ke seantero Nusantara.
Dengan kisah itu, ziarah kami seakan mendapatkan ruhnya. Makam yang tampak sunyi itu ternyata adalah saksi bisu dari sebuah keputusan agung bahwa ilmu dan perjuangan tidak boleh berhenti, bahkan saat dunia dilanda penjajahan. Bahwa seorang ulama sejati adalah mereka yang tahu kapan harus menyebarkan ilmu, dan kapan harus berdiri di garis depan.
Hari mulai beranjak siang. Namun kami belum ingin pergi. Dalam diam, kami sadar bahwa perjalanan ini bukan hanya melintasi negara, bukan hanya sekadar ziarah ke makam tua di kaki bukit dan hutan getah. Ini adalah perjalanan ruhani, menyusuri jejak jaringan ulama Pesisir Selat Melaka yang dengan caranya masing-masing telah mewariskan Islam yang rahmatan lil alamin kepada kita. Di antara pohon getah dan angin pagi Chana, kami seperti mendengar kembali suara mereka, berbisik dalam hati kami:
“Ilmu bukan untuk dibanggakan, tetapi untuk diwariskan. Dan perjuangan bukan untuk dikenang, tetapi untuk diteruskan.” ***
Dawami Bukitbatu, Dosen IAITF Dumai, Jurnalis Senior dan Pegiat Lingkar Pojok Literasi.