Kecerdasan Spritual dalam Proses Belajar Mengajar

Advertisements

BUALNEWS.COM — Kecerdasan spiritual memang selalu berhubungan erat dengan hal-hal keagamaan. Di sekolah, peran guru pendidikan agama sangatlah penting untuk meningkatkan dan mengembangkan kecerdasan spiritual siswa. Peran guru agama dalam mengembangkan kecerdasan emosional dan spiritual anak dapat dilakukan dari jenjang pendidikan yang paling bawah.

Artinya, guru agama dapat mengenalkan siswa akan tuhan, Sang Penciptanya, dan bagaimana untuk selalu dekat dengan-Nya. Meskipun demikian, bukan berarti guru yang mengajarkan mata pelajaran lain tidak memiliki andil dalam pengembangan kecerdasan spiritual siswa. Peran pendidik dalam meningkatkan kecerdasan spiritual dengan berkolaborasi dengan peran orang tua akan dapat membantu siswa dalam mencapai kecerdasan spiritualnya.

Kecerdasan spiritual berkaitan erat dengan peran hati nurani. Seseorang akan mengalami pergolakan batin jika ingin atau hendak melakukan perbuatan yang tidak baik. Oleh karena itu, Spiritual quotient atau kecerdasan spiritual harus ditanamkan sejak dini. Bagaimana cara meningkatkan kecerdasan spiritual siswa dan siapa saja yang berperan untuk mengembangkan kecerdasan spiritual siswa?

Apalagi pendidikan awal siswa hendaknya tidak hanya meliputi dimensi intelektual saja. Dimensi emosional dan spiritual juga merupakan hal yang harus diperhatikan oleh guru untuk dikembangkan. Konsep kecerdasan spiritual yang secara ilmiah dipelopori oleh Danah Zohar dan Ian Marshal tentang kecerdasan tertinggi seseorang. Tujuan mengembangkan kecerdasan spiritual atau Spiritual quotient (SQ) adalah agar manusia mampu mencapai kebahagiaan dalam hidupnya.

Menurut keduanya, dimana kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku, dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Kecerdasan spiritual, menurut Danah Zohar dan Ian Marshal lagi, merupakan landasan untuk mengaktifkan IQ (intelligence quotient) dan EQ (emotional quotient) secara efektif.

Baca Juga :  Keseimbangan Antara Privasi dan Keamanan Data di Era Digital

Dalam umpamanya maka ESQ yang dikemukakan oleh Ary Ginanjar: 2001 adalah adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dengan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya ( hanif ) dan memiliki pola pemikiran tauhid ( integralistik ), serta berprinsip “ hanya karena Allah.”

Oleh sebab itu, seorang guru maka selalu dituntut untuk memiliki nilai-nilai spiritual dalam melakukan proses belajar dan mengajar kepada anak didik. Menghadirkan anak-anak dalam doa setiap mau mengajar dengan melafazkan; ‘Ya Allah aku pinjam ilmumu untuk aku berikan yang terbaik buat muridku semoga bernilai manfaat’.

Melalui lafaz dari dalam hati diucapkan sebagai seorang guru maka sudah mengikhlaskan ilmu dimilikinya dari Allah dan menumbuhkan semangat mengajarnya kepada anak didik. Karena, mengajar dengan hati menghadirkan pembelajaran dengan cinta dan kasih sayang serta menyajikan pembelajaran dengan penuh kasih sayang pula.

Disisi lain, guru tak pernah boleh berhenti untuk belajar dengan selalu meningkatkan wawasan dan pengetahuannya baik itu dalam mengikuti pelatihan, membaca buku, rajin mengikuti workshop, seminar, diskusi dan berbagai kegiatan lain, guna terus bisa memantaskan diri.

Guru Terbaik adalah guru yang mampu melejitkan potensi anak didiknya sehingga anak didiknya menemukan potensinya dan menjadi profesinya dikemudian hari. Setidaknya, untuk menjadi guru terbaik diperlukan tiga hal penting yang harus dipersiapkan guru. Pertama, Peningkatan Motivasi. Guru yang memiliki motivasi tinggi maka dia akan mencintai pekerjaannya, profesi menjadi guru adalah pilihan utama. Passion-nya adalah sebagai guru, betul-betul menjiwai pekerjaan ini.

Bahwa cara lebih baik daripada guru, guru lebih baik dari cara itu sendiri dan yang terpenting adalah penjiwaan menjadi guru lebih penting dari kompetesnsi guru itu sendiri. Apalagi kalaulah sampai terucapkan oleh anak didik terhadap rasa kangennya pada seorang guru dari mengajarnya. Ternyata rasa kangen ini bisa dibangun dari tiga hal yang harus dilakukan setiap mau mengajar membuahkan hasil. Pertama, dimalam hari seorang guru harus mengecek RPP dan menyiapkan yang terbaik dengan pembukaan yang menarik, menggunakan variasi metode. Intinya adalah mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk mengajar diesok hari.

Baca Juga :  Peran Green Economy Terhadap Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia

Hal yang kedua, semenjak menjadi guru selalu menkoleksi berbagai strategi dan metode pembelajaran, ice breaking, katalog rencana pelaksanaan pembelajaran yang berkualitas. Semua itu menjadi modal bagi seorang guru untuk mengajar dengan menyenangkan. Ketiga, menghadirkan mereka dalam do’a. Sehabis shalat subuh atau dalam perjalanan menuju sekolah memanjatkan do’a kepada Allah, “Ya Allah yang maha pengasih dan lagi maha penyayang, aku pinjam ilmumu untuk aku berikan yang terbaik buat anak didikku.”

Peningkatan kapasitas pengetahuan guru dapat dilakukan dengan tiga hal, Pertama, menjelajahi kemampuan siswa. Menjelajahi kemampuan siswa berarti menemukan keunggulan yang terdapat pada siswa tersebut, kemudian dikembangkan, sehingga siswa menemukan potensi yang dimilikinya. Akhirnya, potensi tersebut menjadi profesinya dikemudian hari, dan dengan profesi tersebut bisa sukses dan menebar manfaat bagi banyak umat manusia.

Kemudian yang kedua adalah memahami cara kerja otak dalam menyerap informasi: Memahami arus informasi masuk ke dalam otak Duo Brain (kiri dan kanan). Dalam proses pemberian informasi pada siswa, harus menggunakan keseimbangan antara otak kiri dan kanan (holistik brain), artinya cara penyampaian informasi tersebut haruslah merupakan konsumsi otak kanan dan otak kiri secara seimbang.

Selama ini, proses pembelajaran dominan hanya menggunakan otak kiri. Kondisi ini perlu dirubah, karena hanya menjadikan siswa piawai dalam menggunakan otak kirinya. Selama ini sebagian besar guru jarang mengajar untuk memberikan asupan kepada otak kanan siswa, seperti mengajar menggunakan musik, gambar, dan melakukan imajinasi dalam pengaman belajar.

Salah seorang pakar, Tony Buzan mengatakan kalau mindapping usia 0-8 tahun, siswa kelas 3 SD 80% dominan otak kanan. Sedangkan pada usia 9 sampai 60 tahun seseorang perlu melakukan penyeimbangan antara otak kiri dan otak kanan (50/50). Apabila terlalu kiri terlihat kaku dan jika terlalu kanan dapat tidak beraturan. Maka, yang terbaik adalah keseimbangan antara otak kiri dan kanan (holistik Brain).

Baca Juga :  Pengertian Melayu dan Bangsa Melayu (Menurut Etimologi dan Para Ahli)

Di sisi lain, guru perlu memahami bahwa dalam 1 kepala ada 3 otak yaitu Triune Brain (reptil, mamalia dan neocortext) sebelum mengajar guru perlu terlebih dulu memantau kebersihan kelas, dan pencahayaannya untuk memuaskan otak reptil. Setelah itu, dalam mengajar guru perlu melibatkan emosi siswa, salah satu contohnya adalah dengan tersenyum. Ketika kedua otak ini sudah terpuaskan barulah mulai masuk ke otak berfikir yaitu (neokortex). Sedangkan tahap berikutnya guru perlu mengetahui gelombang otak Wave Brain (beta, alfa, teta dan delta). Kondisi terbaik siswa menerima pelajaran ketika gelombang otak dalam keadaan alfa. Dalam hal ini dirumuskan dengan nama 234. Rumusan ini, harus dipahami, dikuasai dan diimplementasikan oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar. Perlu disadari bahwa setiap mengajar guru pasti berhadapan dengan otak siswa, maka guru diwajibkan untuk mempelajari kemampuan otak yang dimiliki manusia. ***

Oleh: Muhammad Fatonik, S.Pd, Guru SDN 23 Rupat, Kabupaten Bengkalis

You May Also Like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *