Sejarah Kerajaan Siak

Advertisements

BUALNEWS.COM — Kerajan Siak adalah salah satu kerajaan Melayu Islam yang memiliki peran penting dalam sejarah politik dan budaya di Sumatera, terutama di Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Kerajaan ini didirikan oleh Raja Kecik, yang kemudian dikenal sebagai Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah, pada tahun 1723. Keberadaan Kerajaan Siak mencerminkan dinamika kekuasaan di wilayah tersebut sebelum dan sesudah kedatangan kolonial Belanda dan Inggris, serta di masa awal kemerdekaan Indonesia. Sebagai salah satu pusat kekuasaan di Sumatera Timur, Kerajaan Siak tidak hanya menjadi penjaga identitas dan kebudayaan Melayu, tetapi juga menjadi benteng penyebaran Islam di kawasan tersebut. Pengaruh Islam yang kuat ini terlihat dalam adat istiadat, hukum, dan seni budaya yang berkembang di bawah naungan Kesultanan Siak .

Kedatangan kolonial Belanda di wilayah Timur Sumatera, termasuk di Kerajaan Siak, didorong oleh kesadaran mereka akan potensi sumber daya alam yang melimpah, seperti hasil pertanian, perkebunan, dan hasil tambang. Kesultanan Siak Sri Indrapura menjadi salah satu target ekspansi Belanda karena posisi strategisnya dan kekayaan alam yang dimilikinya. Pada awal abad ke-18, Sultan Abdul Jalil Riayat Syah dari Kesultanan Johor, yang menjadi leluhur penguasa Siak, mencoba menjalin hubungan dengan Belanda melalui perjanjian yang bertujuan untuk memperkuat posisi mereka di tengah ancaman dari kekuatan kolonial lainnya.

Namun, perjanjian tersebut pada akhirnya menjadi alat bagi Belanda untuk memperluas pengaruh mereka di wilayah Kesultanan Siak, yang pada gilirannya memengaruhi perkembangan politik, ekonomi, dan sosial di kerajaan tersebut hingga masa-masa setelah kemerdekaan Indonesia (Tuanku Lukman Sinar, 2006). Kebudayaan Melayu telah menjadi salah satu pilar utama dalam pembentukan kebudayaan Nusantara, memainkan peran yang sangat dominan dalam perkembangan identitas budaya yang kemudian dikenal sebagai Indonesia.

Sebelum munculnya gerakan kemerdekaan melawan penjajahan Hindia Belanda, bahasa Melayu telah menjadi lingua franca yang digunakan secara luas di seluruh kepulauan Nusantara, memfasilitasi komunikasi lintas suku dan wilayah. Selain itu, adat istiadat dan tradisi Melayu menjadi fondasi kuat dalam pembentukan norma sosial dan budaya yang menyatukan berbagai kelompok etnis di wilayah ini. Pengaruh kebudayaan Melayu tidak hanya terbatas pada aspek-aspek sosial dan linguistik, tetapi juga mencakup elemen-elemen hukum adat, kesenian, dan tata cara kehidupan sehari-hari yang menjadi ciri khas masyarakat Nusantara (Tengku Lukman Sinar, 2009).

Pada awalnya, hukum adat Melayu dipengaruhi oleh unsur-unsur animisme serta budaya Hindu-Buddha yang telah ada di wilayah ini sebelum kedatangan Islam. Tradisi-tradisi ini mencerminkan kepercayaan dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Melayu pada masa itu. Namun, dengan masuknya Islam ke Nusantara, kebudayaan Melayu mengalami transformasi yang signifikan. Islam membawa perubahan bertahap dalam tatanan kehidupan masyarakat Melayu, termasuk dalam sistem hukum dan adat istiadat. Prinsip-prinsip agama Islam yang menekankan keadilan, kesetaraan, dan kepatuhan kepada syariat mulai menggantikan unsur-unsur kepercayaan sebelumnya, menjadikan hukum adat Melayu lebih selaras dengan ajaran Islam.

Baca Juga :  Kepulauan Nusantara Harmonisasi Persebatian Islam dan Tamadun Melayu

Transformasi ini tidak hanya memperkaya kebudayaan Melayu, tetapi juga memperkuat peranannya sebagai salah satu fondasi utama dalam pembentukan identitas kebangsaan yang akan menjadi ciri khas Indonesia di masa mendatang (Putra, 2016). Provinsi Riau, yang terletak di wilayah tengah Pantai Timur Pulau Sumatera, dikenal sebagai daerah yang kaya akan sumber daya alam, terutama minyak bumi, gas alam, serta hasil hutan dan perkebunan. Posisi geografisnya yang strategis di sepanjang pesisir Selat Malaka, salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia, memberikan keuntungan besar bagi perdagangan dan interaksi budaya. Wilayah ini berbatasan langsung dengan dua negara maju, Malaysia dan Singapura, yang telah lama menjadi mitra dagang penting bagi Indonesia.

Salah satu kabupaten yang menonjol di Provinsi Riau adalah Kabupaten Siak, yang terkenal dengan slogannya “Siak The Truly Malay.” Slogan ini tidak hanya menjadi kebanggaan bagi masyarakat setempat, tetapi juga merupakan cerminan dari keaslian dan kelestarian budaya Melayu yang masih terjaga dengan baik di wilayah tersebut. Kabupaten Siak berperan sebagai penjaga warisan budaya Melayu yang kaya, yang telah diwariskan dari generasi ke generasi (Yuzalmi, 2017).

Namun, meskipun memiliki posisi yang strategis dan warisan budaya yang kaya, Provinsi Riau, khususnya Kabupaten Siak, menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan identitas budayanya di tengah arus modernisasi dan globalisasi. Riau dahulu merupakan pusat kebudayaan Melayu yang berkontribusi signifikan pada peradaban dunia, terutama melalui bahasa, seni pelayaran, dan keahlian pembuatan kapal serta peralatan penangkapan ikan.

Namun, seiring dengan berjalannya waktu, persaingan dengan budaya lain yang lebih efisien dan modern serta kurangnya upaya pengembangan berkelanjutan dalam pelestarian budaya telah menyebabkan kemunduran yang signifikan. Budaya Melayu yang dulunya menjadi identitas kuat di Riau kini mulai tergerus oleh pengaruh budaya asing dan tekanan ekonomi. Oleh karena itu, perlu ada upaya serius dan kolaboratif dari berbagai pihak untuk melestarikan dan mengembangkan budaya Melayu di Riau agar tetap relevan dan menjadi bagian integral dari identitas masyarakat di masa depan (Hamidy, 2006).

Baca Juga :  Pentingnya Pendidikan Ekonomi dalam Membentuk Generasi Muda yang Berwawasan Keuangan

Sejarah dan Peran Kerajaan Siak Sri Indrapura Kerajaan Siak Sri Indrapura, yang merupakan kerajaan Melayu Islam terbesar di wilayah Riau, memainkan peran yang sangat penting dalam sejarah dan perkembangan budaya Melayu di Nusantara. Berdiri pada tahun 1725, kerajaan ini dibangun oleh Raja Kecik, yang kemudian dikenal sebagai Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah. Kerajaan Siak mencapai puncak kejayaannya dari abad ke-16 hingga abad ke-20, menjadi pusat kekuasaan dan kebudayaan yang berpengaruh di wilayah Sumatera bagian timur.

Sebagai kerajaan yang kuat, Siak tidak hanya berfungsi sebagai pusat pemerintahan, tetapi juga sebagai benteng pertahanan dalam menghadapi ancaman dari kekuatan kolonial Eropa dan kekuatan regional lainnya. Dalam masa kejayaannya, Kerajaan Siak berhasil memperluas pengaruhnya hingga ke beberapa daerah di Semenanjung Malaya dan pulau-pulau sekitarnya, menjadikannya salah satu kerajaan Melayu paling berpengaruh pada masa itu (Ricklefs, 2008).

Dinasti sultan-sultan Kerajaan Siak terdiri dari 12 sultan yang pernah memerintah, masing-masing memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan politik, ekonomi, dan budaya kerajaan. Setiap sultan membawa visinya sendiri, mengembangkan hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan lain, dan berusaha mempertahankan kedaulatan Siak di tengah berbagai tantangan internal maupun eksternal. Di bawah kepemimpinan para sultannya, Kerajaan Siak dikenal sebagai pusat penyebaran Islam di wilayah Riau, di mana hukum syariah Islam diterapkan secara luas dan menjadi bagian integral dari kehidupan sosial masyarakat Melayu. Selain itu, Kerajaan Siak juga terkenal dengan kemajuan dalam bidang sastra, seni, dan budaya, di mana berbagai warisan budaya Melayu, seperti seni ukir, tarian, dan musik, dikembangkan dan dilestarikan. Warisan

para sultan ini tidak hanya dirasakan pada masa kejayaan mereka, tetapi juga berlanjut hingga sekarang, memberikan fondasi yang kuat bagi identitas budaya Melayu di Riau. Berikut adalah sultan-sultan yang memerintah di Kerajaan Siak: 1. Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah (1723-1746M), berkedudukan di Buantan dan wafat di sana dengan gelar Marhum Buantan. 2. Sultan Abdul Jalil Muzaffar Syah (1746-1765M), menggantikan ayahandanya dan memerintah selama sekitar 19 tahun sebelum wafat dengan gelar Marhum Mempura Besar. 3. Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah (1765-1767M), dikenal sebagai Tengku Ismail, singkat memerintah sebelum terlibat dalam pertempuran dengan Belanda pada tahun 1766M. 4. Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah (1767-1780M), memerintah dari Senapelan (Pekanbaru) sebelum wafat di sana dengan gelar Marhum Bukit. 5. Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah (1780-1782M), pendiri Kota Pekanbaru, menggantikan ayahnya Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah. 6. Sultan Yahya Abdul Jalil Muazaffar Syah (1782-1784M), wafat di Dungun (Melaka) dengan gelar Marhum Dungun. 7. Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin Baalawi (1784-1810M), Sultan pertama berdarah Arab, mencapai masa kejayaan Kerajaan Siak sebelum wafat dengan gelar Marhum Kota Tinggi. 8. Sultan Assyaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin (1810-1815M), putera Sultan VII, yang pemerintahannya diwakili oleh wali Sultan karena kesehatannya terganggu. 9. Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Jalaluddin (1815-1864M), memerintah pada masa terjadinya perjanjian Siak-Belanda di mana Belanda mengakui kedaulatan Siak kecuali di beberapa daerah. 10. Sultan Assyaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin (1864-1889M), putra Sultan Ismail, mangkat dengan gelar Marhum Mahkota. 11. Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin (1889-1908M), naik tahta menggantikan ayahandanya Sultan Kasim I, mendirikan Istana Asserayah Hasyimiah dan wafat di Singapura dengan gelar Marhum Baginda. 12. Sultan Assyaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin (Syarif Kasim II, 1915-1946M), Sultan terakhir Siak Sri Indrapura, mangkat di Siak Sri Indrapura dan dimakamkan di samping Masjid Syahabuddin (Tuanku Lukman Sinar, 2006). ***

Baca Juga :  Jalur Rempah: Memuliakan Masa Lalu untuk Kesejahteraan

DAFTAR PUSTAKA

H., & Badrun. (2023). Pengaruh Islam dalam Kebudayaan Melayu. Hijaz: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 2(2), 79– 83. https://doi.org/10.57251/hij.v2i2.829

Daliman. (2012). Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Hamidy,. U. (2006). Bahasa Melayu dan Kreatifitas Sastra di Daerah Riau. Pekan Baru: Unri Press.

Koentjraningrat. (1993). Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Pratama, I. P., & Zulhijra, Z. (1970). Reformasi Pendidikan Islam di Indonesia. Jurnal PAI Raden Fatah, 1(2), 117–127. https://doi.org/10.19109/pairf.v1i2.3216

Prayogi, A. (2016). Dinamika Identitas Budaya Melayu Dalam Tinjauan Arkeo-Antropologis. Jamaddun: Jurnal Kebudayaan Dan Sastra Islam, 16(1), 1–20.

Putra, B. A. (2016). Historiografi Melayu: Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. Tsaqofah & Tarikh, 1(1).

Rasyid, F. (2022). Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Teori, Metode, dan Praktek. Kediri: IAIN Kediri Press.

Ricklefs, M. C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. Sinar,

Tengku Lukman. (2009). Sejarah Medan Tempo Doeloe. Medan: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Seni Budaya Melayu. Sinar,

Tuanku Lukman. (2006). Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur. Medan: Yayasan Sultan Serdang.

Yuzalmi, N. (2017). Elektisitas Pemasaran Kain Tenun Songket Melayu Riau Pada Dekranasda Provinsi Riau. Menara Ilmu, 11(2), 139–156. https://doi.org/https://doi.org/10.33559/mi.v11i76.310

Penulis: Syafri Yadona (202401055), Mahasiswa Prodi Akutansi Syariah, STIE Syariah Bengkalis

Next Post

No more post

You May Also Like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *