BUALNEWS.COM — Akhir-akhir ini sistem ekonomi Islam dalam wacana dan praktik telah berkembang luas dalam kehidupan ekonomi masyarakat Indonesia. Sebagai wacana ia telah menjadi bagian dari pemberitaan dalam berbagai media, bahan diskusi, seminar, loka karya dan perundang-undangan. Sistem ekonomi Islam tumbuh secara dualistik; berorientasi profit dan non profit. Ekonomi Islam yang berorientasi profit berupa lembaga keuangan syari’ah, dalam bentuk perbankkan syari’ah, unit usaha syari’ah, lembaga pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah, dan lain – lain. Ekonomi Islam non profit berupa; baitul mal, badan amal zakat infaq dan sadaqah (BAZIS), lembaga amal zakat infaq dan sadaqah (LAZIS), dan lembaga wakaf.
Pakar ekonomi memperkirakan ekonomi Islam di Indonesia akan mengalami perkembangan pesat 15 tahun ke depan dan akan menjadi ekonomi syariah terbesar di dunia. Hal tersebut mengingat potensi pasar yang sangat besar, ditambah lagi sektor riil yang terkait ekonomi Islam dapat berjalan lebih baik. Namun demikian market share ekonomi Islam baru sekitar dua persen pasar ekonomi konvensional di perbankan, asuransi dan pasar modal.
Perkembangan ekonomi Islam di Indonesia dan dunia, terutama sektor ekonomi berorientasi profit, dipengaruhi sejarah pertumbuhan bank syariah. Ia muncul pertama kali di Mesir, tidak menggunakan label Islam, untuk mengantisipasi kecurigaan sebagai gerakan fundamentalis. Perintisnya membentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Mit Ghamr tahun 1963. Hingga tahun 1967, sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima bunga, tetapi dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung. Pengalaman di Mesir menyebar ke seluruh dunia, termasuk di Indonesia tahun 1980-an, dengan wacana mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam.
Di Indonesia sejak Desember 2005, telah beroperasi 3 Bank Umum Syariah dan 19 Unit Usaha Syariah dari Bank Konvensional, yang menyebar ke berbagai wilayah. Data dari Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia Desember 2005, menyebutkan total asset dari seluruh bank syariah nasional (belum termasuk BPRS) baru Rp. 20,9 triliun atau 1,42 persen dari seluruh total aset perbankan nasional, dana pihak ketiga yang dihimpun sebesar Rp.15,6 triliun atau kira-kira 1,38 persen dari dana pihak ketiga yang dihimpun seluruh sistem perbankan.
Sistem ekonomi Islam non profit pun berkembang pesat di Indonesia. Sistem ini mengelola; zakat, sadaqah, infak, dan wakaf. Potensinya sangat besar, jika terkoordinasi dengan baik, menurut riset Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Fakultas Ekonomi Manajemen (FEM) IPB tahun 2011 mencapai angka 3,4 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) atau kurang lebih Rp 217 triliun. Khusus potensi zakat dari Giro Wadiah dan Deposito Mudharabah di perbankan syariah, ditemukan bahwa potensi zakat keduanya mencapai masing-masing sebesar Rp 155 miliar dan Rp 739 miliar.
Perkembangan dan pertumbuhan sistem ekonomi Islam bukan hanya sebagai fenomena perkotaan, tetapi juga perdesaan. Bahkan sistem ekonomi Islam non profit ini sesungguhnya, telah lama berkembang di perdesaan, terutama yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam. Berkembangnya sistem ekonomi Islam di perdesaan berproses secara evolutif, dalam kehidupan masyarakat perdesaan. Dinamika sistem ekonomi Islam di perdesaan baik sebagai wacana maupun praksis, menarik penulis untuk menyusun makalah ini.. Analisis kependudukan menjadi pisau untuk menjelaskan potensi pengembangan ekonomi Islam di perdesaan.
Kajian atas tema ini bisa menjadi isu menarik dalam rangka Pengembangan ilmu pengembangan masyarakat Islam. Baik dalam ranah teoretik maupun praktis. Hal ini selaras dengan upaya pengetahuan tentang pengembangan masyarakat Islam yang selama ini masih terus mencari alternatif. Apalagi fakta yang ada dari ilmu pengembangan masyarakat Islam memiliki dimensi yang luas, sehingga mengembangkan multi dimensi yang berifat abstrak maupun praktis perlu dilakukan.
Pengembangan ekonomi Islam di pedesaan tentu buka sesuatu yang baru bagi mayoritas desa yang penduduknya beragama Islam. Nilai-nilai Islam yang telah mendarah daging dalam kehidupan sehari-hari masyarakat desa telah menjadi dasar dari praktik-praktik ekonomi. Namun demikian seringkali masyarakat pedesaan kurang menyadari bahwa mereka telah mempraktikkan sistem ekonomi Islam. Dalam konteks kekinian yang merupakan evolusi yang panjang kehidupan ekonomi masyarakat pedesaan merupakan system ekonomi campuran yang dualistik.
Sistem ekonomi perdesaan di Indonesia dalam konteks kekinian berlangsung dalam pergumulan sistem ekonomi tradisional (prakapi-talistik) dengan ekonomi modern (kapitalistik). Sistem ekonomi kapita-listik di perdesaan merupakan bentuk penetrasi perkotaan atas perde-saan. Mentalitas ekonomi kota telah menjungkirbalikan prinsip – prinsip ekonomi produksi masyarakat perdesaan. Selama ini proses produksi ekonomi perdesaan dilakukan untuk swasembada, dengan sedikit kele-bihan yang dijual ke pasar. Mentalitas kota telah merubahnya menjadi hukum pertukaran sebagai dasar proses produksi. Petani tumbuh menjadi wiraswasta, berproduksi untuk usaha-usaha perdagangan.
Kapitalisme kota mengikis karakteristik utama masyarakat perdesaan yang sebelumnya bersifat homogen. Kehidupan masyarakat desa yang selama ini, didasari oleh nilai kesederhanaan dan kebersa-maan. Semangat kolektivitas dalam berbagai aspek kehidupan berlangsung secara kontinyu, harmoni sosial cenderung lebih mudah tercipta. Persoalan pangan dan deferensiasi sosial akibat tekanan pertumbuhan penduduk, diselesaikan dengan ekspansi statis oleh komunitas sehingga homogenitas akan tetap terjaga (Boeke, 1974). Permukiman dan pertanian baru akan dibuka dalam jumlah yang secukupnya sekedar untuk memenuhi kebutuhan subsistensi, ketika komunitas baru telah penuh populasinya maka pola yang sama akan dilakukan.
Kemajuan teknologi informasi meretas batas – batas isolasi sosial budaya, ekonomi, dan politik perdesaan. Desa menjadi bagian dari kesatuan global. Kualitas kehidupan desa yang terus meningkat baik dalam pemenuhan kebutuhan pokok (pangan, sandang dan papan), pendidikan dan kesehatan telah meningkatkan pula jumlah penduduk perdesaan. Akibatnya, tingkat kepadatan penduduk desa pun tinggi. Lahan – lahan pertanian berubah fungsi menjadi tempat tinggal atau ruang ekonomi dan sosial non pertanian. Perubahan fungsi tersebut menjadikan lahan pertanian semakin sempit. Untuk memenuhi kebutuhannya, maka masyarakat mengembangkan teknologi dan komersialisasi pertanian. Tranformasi tersebut berdampak sosial dan teknologi sangat luas. Secara sosiologis telah menyebabkan deferensiasi sosial baru di perdesaan.
Ekonomi kapitalistik perkotaan di desa menurut Boeke, belum sepenuhnya menguasai kehidupan perdesaan. Masyarakat desa pada beberapa situasi tertentu masih menjalankan sistem ekonomi dan sosial lama dalam kehidupannya. Perang sistem tersebut masih terus berlangsung. Situasi tersebut diistilahkan Boeke sebagai sistem perekonomian dualistic akibatnya keselarasan sosial dan kesatuan ekonomi tidak ada. Kedamaian internal yang sejati, hilang dalam kehidupan desa. Keseimbangan ekonomi terguncang dan tanpa dapat dihentikan.
Penulis : Addina Al Qoyyimah, Akuntansi Syari’ah, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Syariah Bengkalis