BUALNEWS.COM –PULAU Rempang dan dua pulau lainnya yaitu Pulau Galang dan Pulau Bulang bukanlah pulau baru dikenal dan bukan pula tidak berpenghuni. Sebelum Indonesia ada, merdeka dan bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) maka pulau ini sudah menjadi saksi sejarah dan ikut berperan dalam mewariskan kepahlawanan membela bangsa merdeka bernama bangsa Melayu dan kerajaan-kerajaan Melayu pada masanya dan Indonesia merdeka.
Disebutkan dalam Kitab Tuhfat An-Nafis pada masa perang Riau I (1782-1784) melawan Belanda, penduduk setempat menjadi prajurit Raja Haji Fisabilillah, kakek Raja Ali Haji. Kemudian, dalam Perang Riau II (1784-1787), mereka di bawah pimpinan Sultan Mahmud Riayat Syah, ikut berjuang melawan Belanda. Mereka sudah mendiami pulau-pulau tersebut sejak tahun 1720 di masa Pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I dan dari sinilah, keturunan prajurit atau laskar Kesultanan Riau Lingga berasal.
Pada masa Sultan Mahmud Riayat Syah kemudian memindahkan pusat pemerintahan ke Daik-Lingga pada 1787. Pada saat itu, Pulau Rempang, Galang dan Bulang dijadikan basis pertahanan terbesar dari Kesultanan Riau Lingga dipimpin oleh Engku Muda Muhammad dan Panglima Raman. Keduanya diangkat langsung oleh Sultan Mahmud.
Artinya, Pulau Rempang, Galang dan Bulang bukan pulau kosong tidak berpenghuni. Pulau ini sudah menjadi tapak sejarah peradaban dari ikatan besar hari ini bernama NKRI dan Indonesia. Pada Perang Riau I dan Riau II, nenek moyang penduduk Rempang disebut sebagai Pasukan Pertikaman Kesultanan, semacam pasukan elite. Jadi anak cucu prajurit itulah yang sampai saat ini mendiami Pulau Rempang, Galang dan Bulang secara turun temurun. Kuatnya basis pertahanan pasukan di Pulau Rempang, Galang dan Bulang, membuat pasukan Belanda dan Inggris tidak berani memasuki wilayah Kesultanan Riau Lingga.
Dalam sebuah penelitian dilakukan Antropolog Singapura, Viviene Wee menyebutkan bahwa jumlah penduduk di Pulau Galang berdekatan dengan Rempang sudah mencapai 1.300 orang pada tahun 1823. Orang melayu yang berdiam di Pulau Rempang sudah ada jauh dari tahun tersebut. Bukti sejarah lain dari pejabat Belanda bernama, Elisha Netscher mengatakan kalau pada abad ke-19 sudah ramai penduduk di Pulau Rempang dihuni oleh orang berasal dari suku Melayu galang, orang darat dan orang laut.
Sangat tidak beralasaan kalau dinyatakan peradaban di Pulau Rempang dan sekitarnya disebut baru ada pada abad ke-19. Sebab pada tahun 1722-1818 maka Pusat Pemerintahan Temenggung Riau Lingga dipindahkan dari Hulu Riau (Tanjungpinang) ke Pulau Bulang (dekat Pulau Rempang dan Galang). Ini menjadi salah satu bukti bahwa Pulau Rempang, Galang dan sekitarnya sudah lama didiami atau ditinggali oleh orang Melayu Galang, Orang Darat dan Orang laut. Artinya, kalau sudah ada pusat pemerintahan, harus ada orang atau rakyat. Jadi banyak sekali catatan ahli sejarah yang menyatakan bahwa orang di Pulau Rempang, Galang dan sekitarnya sudah lama tinggal disana.
Guna memperkuat argumen sisi historis lainnya maka pada tahun 1829, Sultan Riau Lingga, Sultan Abdul Rahman memberikan kuasa kepada Raja Isa atau Nong Isa untuk memimpin Nongsa yaitu Pulau Batam, Galang, Rempang dan sekitarnya. Penyerahan kuasa ini merupakan bukti, bahwa Pulau Batam dan sekitarnya sudah banyak dipadati masyarakat pada tahun 1829. Kemudian pada tahun 1837 terjadi pada sebuah kapal Inggris dibajak di Pulau Galang. Pelaku bajak laut atau lanunnya adalah orang Melayu Galang.
Selain suku Melayu Galang ada juga Suku Laut atau lebih dikenal dengan orang laut merupakan salah satu suku asli di Pulau Rempang. Mereka tinggal di pesisir yang tersebar di Pulau Batam Rempang dan Galang (Barelang). Sementara suku Orang Darat, berada di pedalaman Pulau Rempang. Orang Darat bertempat tinggal di Kampung Sadap dan hanya tinggal beberapa Kepala Keluarga (KK) saja. Jadi bisa dibilang suku asli, tiga kelompok tadi. Selebihnya pendatang, sejak Jembatan Barelang selesai dibangun pada 1998
Modernisasi pembangunan pun begitu cepat terjadi. Dan seiring waktu, Pemerintahan Orde Baru menerbitkan Keppres Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam. Kampung Tua sudah ada sebelum Keppres tentang hak pengelolaan Otorita Batam itu diterbitkan. Pada 2004, Walikota Batam tidak merekomendasikan Kampung Tua menjadi bagian dari hak pengelolaan. Hal itu tercantum dalam Keputusan Walikota Batam Nomor KPTS. 105/HR/III/2004 tanggal 23 Maret 2004 tentang Penetapan Wilayah Perkampungan Tua di Kota Batam.
Kalau pun kini setelah lebih dari 300 tahun, masyarakat Rempang berjuang mempertahankan ruang hidupnya, mereka malah terancam tergusur dengan pembangunan PSN Rempang Eco City dengan menabrak berbagai aturan yang telah ada dengan membabi buta. Inikah balasan yang didapatkan masyarakat Rempang padahal darah dan nyawa telah dikorbankan oleh nenek moyang mereka dalam mengusir penjajah Belanda. Kenapa baru sekarang pemerintah mengatakan bahwa penduduk Rempang tidak memiliki sertifikat tanah, padahal itu adalah kewajiban yang dijanjikan Presiden.
Pepatah Melayu selalu mengatakan, Biar Kami Mati Berdiri daripada Hidup Berlutut. Pepatah ini masih selalu dipegang masyarakat Melayu Rempang. Meski pemerintah tetap bersikukuh akan merelokasi masyarakat dari 16 kampung tua Rempang. Namun ribuan warga Rempang, Batam, tetap menolak digusur dari tanah kelahirannya. Mereka tak ingin direlokasi ke Pulau Galang atas nama pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City.
Bukan tanpa alasan masyarakat Melayu Rempang tetap gigih mempertahankan kampungnya. Meski mereka tidak memiliki sertifikat tanah, namun keberadaan kakek moyang mereka di sana sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Mayoritas masyarakat 16 kampung tua menolak relokasi karena kampung sudah eksis dari 1834. Masyarakat Melayu sudah tinggal dan beranak pinak di Rempang, termasuk Pulau Galang dan Bulang, sejak lebih dari 300 tahun lalu, belum lagi Indonesia merdeka. Mereka eksis serta menjaga nilai dan tradisi nenek moyang hingga hari ini.
Mengutip kitab Tuhfat An-Nafis karya pahlawan nasional Raja Ali Haji. Kitab itu ditulis dengan Bahasa Melayu Arab pada tahun 1885, dan diterbitkan pertama kali pada 1890. Naskahnya juga diterbitkan pada 1923 untuk Journal of the Malayan Branch Royal Asiatic Society, London. Semuanya berkaitan dengan rencana pembangunan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas yang akan dikelola oleh PT Makmur Elok Graha dengan investasi sebesar 381 triliun rupiah.
Wajah Pulau Rempang akan diubah menjadi kawasan investasi terpadu seluas 17.000 hektar. Namun, keputusan ini memunculkan kontroversi besar karena mengancam hak-hak masyarakat yang telah berabad-abad tinggal di pulau tersebut. Sejarah Pulau Rempang mencatat bahwa pulau ini pernah menjadi tempat tinggal orang dari suku orang darat, yang juga dikenal sebagai orang utan. Mereka dipercaya sebagai penduduk asli Kota Batam. Paling penting adalah pentingnya komunikasi antara pemerintah dan penduduk Pulau Rempang dalam menghadapi relokasi dan perubahan besar-besaran ini dengan tidak menghilangkan tapak sejarah sebagai kekuatan kaji bahwa negeri ini pernah berjaya dan selalu akan berjaya dengan tidak melupakan sejarah. ***
Oleh: Jon Helmi, Mahasiswa S3 Pendidikan Universitas Riau.