BUALNEWS.COM — Sebelum menonton The Architecture of Love, saya sempat ragu film ini sama seperti film romansa pada umumnya yang sarat akan dialog-dialog puitis yang terkadang terdengar menggelikan.
Keraguan itu semakin bertambah di benak saya saat awal film menggambarkan kasus perselingkuhan yang dialami Raia (Putri Marino). Rasanya saya mulai jenuh menonton film maupun serial yang mengangkat kisruh rumah tangga yang dikemas dengan begitu-begitu saja.
Hingga kemudian saya mulai menikmati The Architecture of Love ketika karakter Raia memulai perjalanannya di New York. Berbekal rasa sakit akibat trauma yang ia alami, Raia perlahan berusaha bangkit dan menata kembali kehidupannya sebagai penulis di Negeri Paman Sam.
Saya jatuh hati melihat cara Putri Marino membawakan karakter Raia. Rasanya ia membawakan karakter tersebut tidak dengan berlebihan, tetapi berhasil membuat emosi yang ia rasakan sampai dengan mulus ke penonton.
Akting memuaskan Putri Marino sebenarnya sudah saya akui sejak film pertamanya, Posesif, yang tayang 2017 lalu. Tak heran ia menyabet penghargaan Aktris Terbaik Festival Film Indonesia lewat perannya di film tersebut.
Namun, saat memerankan karakter Raia, sulit bagi saya untuk tidak semakin terkesima dengan kepiawaian sang aktris, terutama mimik wajahnya yang terlihat natural saat berdialog dengan lawan mainnya.
Akting Putri Marino pun turut diimbangi oleh Nicholas Saputra sebagai River. Walaupun harus saya akui di beberapa adegan saya merasa sedikit janggal dengan aktingnya terutama saat menangis.
Namun, hal itu tak mengurangi keindahan chemistry antara Raia dan River. Bisa dibilang perpaduan keduanya merupakan nyawa film ini. Teddy Soeriaatmadja tampaknya memang ingin mengemas The Architecture of Love dengan tidak berlebihan. The Architecture of Love secara sederhana memperlihatkan usaha dua manusia berdamai dengan trauma hidupnya masing-masing.
Film yang diangkat dari novel Ika Natassa ini memperlihatkan bahwa trauma bisa berdampak bagi setiap orang. Hal itu tampak jelas dari karakter Raia dan River yang memiliki cara berbeda dalam menghadapi trauma yang mereka alami.
Penonton diajak mengikuti perjalanan Raia dan River mulai dari berkenalan hingga terlibat konflik. Perasaan campur aduk terasa selama 110 menit menyaksikan The Architecture of Love.
Mulai dari senyum-senyum sendiri melihat adegan menggemaskan Raia dan River, kesal melihat River yang sering tiba-tiba menghilang, hingga sedih mengetahui latar belakang River.
Film ini juga mengandung beberapa dialog-dialog puitis tapi tidak terdengar menggelikan karena ditempatkan dalam konteks yang tepat. Misalnya dialog “tidak semua yang kosong harus diisi” yang diucapkan River. Rasanya dialog itu mungkin terdengar hambar jika dilontarkan di sembarang adegan.
The Architecture of Love seolah menjadi pembuktian bahwa film romansa tidak harus melulu dipenuhi ucapan manis nan romantis.
Film ini juga menyinggung bahwa tidak pernah ada manusia yang terbiasa dengan patah hati meski telah mengalaminya berulang kali lewat karakter Erin yang diperankan Jihane Almira. Sejumlah plot twist pun dihadirkan yang membuat film ini terasa lebih segar.
The Architecture of Love bisa dibilang juga menjadi fan service bagi penggemar Nicholas Saputra. Di film ini, pria yang akrab Nicsap itu memperlihatkan range aktingnya dalam memerankan River yang memiliki karakter tak menentu.
Sepanjang menyaksikan film, tak sedikit penonton yang berteriak histeris melihat River dengan tingkah manisnya, tapi kemudian menggerutu karena kesal melihat sifatnya yang suka ghosting.
Mengambil latar di New York, The Architecture of Love nyatanya tidak sekadar memperlihatkan keindahan kota itu saja seperti layaknya film-film Indonesia yang syuting di luar negeri.
Lewat karakter River yang merupakan seorang arsitek, film ini turut menceritakan sejarah dan keunikan dari sejumlah bangunan di New York.
Terlepas dari semua keunggulannya, sayangnya saya merasa kurang puas dengan akhir dari film ini The Architecture of Love yang sekaligus menjawab takdir Raia dan River. Bagi saya, resolusinya terlalu sederhana dan seolah tidak ada pilihan yang lebih baik.
Meski ditutup dengan akhir yang kurang memuaskan bagi saya, The Architecture of Love tetap bisa dibilang menjadi film yang indah dan romantis tanpa perlu banyak banjir kata-kata manis. ***
Editor: Wadami